ABU BAKAR BIN AHMAD MANSOR
(S.Kom.I, CH, CHt, CI, MNLP)
Born In Kota Bharu, Kelantan, Malaysia.
~Founder and President Of Master Trance Academy [Malaysia-Indonesia]
~Leader/Admin In Team Dakwah Khalifah ~Trainer Multinasional, Consultant, Therapist,
~Mubaligh Thoriqot Qodiriyah Naqsyabandiyah
Trainer, Coach, and expertise in the field of Hypnosis, NLP, Spiritual, Charisma, Body Language, Public Speaking, Excellent Teaching, Motivation, Da'wah and Persuasive Communication (Miton Erickson)
FORMAL EDUCATION
-Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
[Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah/ Universitas Latifah Mubarokiyah, 2010]
-Santri/Mubaligh
[Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya,Indonesia, 2010]
[ Pondok Jeram Pasu,Pasir putih,Kelantan, 2010]
-Sijil Pengajian Islam
[ Sultan Ismail Petra Internasional Islamic College, 2009-2010]
[Pondok Tahfiz Ar-Rahmaniah Neting,Tumpat,Kelantan, 2009]
[Sekolah Menengah Kebangsaan Putera, Kelantan 2004-2008]
NON-FORMAL EDUCATION
-Certified Hypnotist (CH)
-Certified Hypnotherapist (CHt)
-Certified Instructor (CI)
[IBH - Indonesian Board of Hypnotherapy]
-Licensed Neo Neuro Linguistic Programming Parctitioner (NNLP)
[Neo NLP Society Indonesia]
-Certified Hypnotist (CH)
-Certified Hypnotherapy (CHt)
-Certified Instructor (CI)
-Licensed NLP Practitioner (NLP)
-Licensed Master NLP Practitioner (MNLP)
[MTA - Master Trance Academy Malaysia-Indonesia]
-Certificate of Attendance
[ISHH - Indonesia School Hypnosis & Hypnotherapy]
-Certified Master Trainer Spiritual Hypnotivation Therapy (M.SHOT)
[Hypnosis SHOT Indonesia]
-Certified Public Speaking
[Radix Training & Consulting]
*****************************
I was a teacher and the coach in the field
-hypnosis-
-neuro linguistic programming-
-spiritual-
-the body language-
-charisma-
-meta physiká,
-the motivation-
-therapy-
-psychology-
-magic-
I liked this field, because he was our life was everyday
::Made preparations to teach the private class::
Selasa, 16 Juli 2013
Bai'at
Bai’at.
Bai’at
artinya ikrar janji setia seseorang kepada seorang pimpinannya, baik
pemimpin politik maupun lainnya. Bai’at adalah bahasa Arab yang aslinya
dari kata بَاعَ يَبِيْعُ بَيْعا ً yang artinya menjual. Dari akar kata tersebut diketahui bahwa kata bai’at
pada mulanya dimaksudkan sebagai pertanda kesepakatan atas suatu
transaksi jual beli antara dua pihak. Kesepakatan itu biasanya dilakukan
dengan berjabatan tangan. Istilah ini kemudian berkembang sebagai
ungkapan bagi kesepakatan terhadap suatu perjanjian antara dua pihak secara umum.
Pada zaman awal pemerintahan Islam pengertian bai’at berkembang menjadi kesepakatan politik atau
kontrak sosial antar seorang pemimpin atau khalifah dan rakyatnya.
Dengan demikian pemberi bai’at, dalam hal ini rakyat berjanji untuk
melakukan apa saja bagi kepentingan pemimpin yang dibai’atnya, demikian
pula sebaliknya, pemimpin tersebut dengan baia’at yang diterimanya
berjanji akan melakukan segala sesuatu untuk kepentingan rakyat. Oleh
karena itu bai’at terhadap seorang khalifah biasanya dilakukan dengan
menjabat tangannya sebagai pertanda kesetiaan kepadanya.
Pada
masa Nabi Muhammad saw bai’at yang dilakukan kaum muslimin kepadanya
lebih bersifat ikrar janji biasa untuk tetap membela Islam ,tanpa
mempunyai ikatan yang bersifat politis tertentu. Bai’at-bai’at tersebut
adalah bai’at ‘aqobah pertama,
bai’at aqobah kedua dan Bai’atur Ridwan. Bai’at aqobah pertama dan
kedua adalah bai’at yang dilakukan oleh kaum anshor di Makkah, sedangkan
Bai’atur Ridwan adalah bai’at yang dilakukan kaum muslimin ketika
terjadi Gozwah Hudaibiyah (suatu peperangan yang dipimpin lengsung oleh Rasulullah saw). Bai’at ini disebut Bai’atur Ridwan yang artinya Bai’at yang diridoi Allah swt karena dalam surat Al Fath ayat 18 dikatakan bahwa Allah swt rido terhadap mereka yang melakukan bai’at tersebut .
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَاْيِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوْبِهِمْ
فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبٍا
“Sesungguhnya Allah telah rido terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu dibawah
pohon, maka Allah mengetaui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya (kemenangan pada perang Haibar)”.
Asbab nuzul ayat ini adalah :
Pada
bulan Dzulhijjah tahun 6 H, Nabi saw beserta pengikutnya hendak
mengunjungi Makkah untuk melakukan Umrah, dan melihat keluarga-keluarga
mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau
berhenti dan mengutus Usman bin Affan lebih dahulu ke Makkah untuk
menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kaum muslimin. Nabi dan para
sahabat menanti-nanti kembalinya Usman, tetapi tidak juga kunjung datang
karena Usman ditahan oleh kaum musyrikin, kemudian tersiar lagi berita
bahwa Usman telah dibunuh.Karena itu Nabi saw menganjurkan kaum muslimin
melakukan bai’at (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan
janji setia kepada beliau dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama
Nabi saw sampai kemenangan tercapai.
Perjanjian setia ini telah diridoi Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18
surat Al Fath. Karena itu disebut Bai’atur Ridwan, Bai’atur Ridwan ini
menggetarkan kaum musyrikin sehingga mereka melepaskan Usman dan
mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin, dan perjanjian ini terkenal dengan nama Sulhul Hudaibiyah.
Dalam surat yang sama di ayat 10 Allah menerangkan sbb:
اِنَّ الذِّيْنَ يُبَاْيِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَاْيِعُوْنَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَاِنَّمَاْ يَنْكُثُ
عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ اَوْفَى بِمَاْ عَهَدَ عَلِيْهِ اللهُ فَسَيُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا
“Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka berjanji
setia kepada Allah . Tangan Allah diatas tangan mereka, maka barang
siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri , dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberikan pahala yang besar”.
Orang yang janji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasulullah saw ialah meletakkan tangan Rasul diatas tangan yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah diatas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan
Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan tangan
Allah diatas tangan orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan
bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluk-Nya.
Didalam
Muftahus Shudur diterangkan bahwa sekelompok kaum yang berjanji setia
menyebut nama Allah, dan mereka hanya untuk itu, mereka nanti akan di
panggil dari langit dengan ucapan “ bangkitlah kalian, dan kalian telah
Ku ampuni kesalahanmu / kejelekanmu telah kutukar dengan kebaikan” Allah
berfirman Qur’an surat At Taubat ayat 111 :
وَمَنْ اَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الذِّىْ بَاْيَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الفَوْزُ العَظِيمُ
“Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?. Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, danitulah kemenangan yang besar”.
Setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu dimulai pada sa’at bai’at terhadap khalifah pertama Abu Bakar As Shiddiq ( berkuasa 632 H –634 H) hingga sesudah mnasa khalifah Abbasiyah, pengertian bai’at berkembang menjadi ikrar politik. Dengan demikian bai’at identik dengan pengakuan dan ikrar janji setia seorang muslim terhadap seorang khalifah baik secara sukarela maupun terpaksa.
Dalam doktrin Khilafah (kehalifahan
) menurut Sunni bai’at merupakan salah satu cara bagi sahnya jabatan
khalifah seseorang. Akan tetapi terjadi perselisihan dikalangan para
pemikir Sunni mengenai kriteria, syarat dan jumlah para pemberi
bai’at itu. Sebagian mengatakan bahwa bai’at itu cukup dilakukan oleh
seorang sesepuh masyarakat atau Ahlul halli wal ‘aqdi (sekelompok pemuka
masyarakat muslim yang dianggap layak untuk mengangkat atau menurunkan seorang khalifah), dan sebagian lainnya mengatakan bahwa bai’at harus
dilakukan oleh lebih dari seorang sesepuh masyarakat. Selain itu
seorang muslim yang telah memberikan bai’at kepada bai’at maka Khalifah
maka khalifah wajib patuh kepadanya dan tidak boleh membantah atau menentangnya.
Sementara dalam doktrin Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah (salah satu sekte Syi’ah yang sangat
dekat dengan faham Sunni), karena persoalan khilafah atau imamah bukan
berdasarkan pemilihan umat atau syurq, melainkan berdasarkan washiyat dan pengangkatan langsung oleh Khalifah /imam sebelumnya (disaebut dengan istilah An nass), maka bai’at tidak berlaku sama sekali, sebab suka atau tidak, suka berjanji setia atau tidak, seorang muslim harus patuh kepada seorsng pemimpin atau imamnya.
Dan perkembangan selanjutnya, yaitu setelah runtuhnya system khilafah dari panggung politik Islam, bai’at lebih banyak digunakan dalam pengertian ikrar janji kepatuhan pada Islam secara umum atau atau melalui seorang seperti yang dilakukan oleh seorang pengikut tarekat kepada mursyidnya (pembimbing tarekat) dan kelompok-kelompok sempalan tertentu dalam Islam.
Didalam tarekat kadang-kadang antara “talqin- baiat- tawajuh “ oleh para pengikutnya diartikan yang sama, yaitu diberikan pelajaran berdzikir, padahal tidak demikian, karena arti talqin adalah mengajarkan la
ilaha illa Allah, dan arti bai’at adalah janji setia, dan arti tawajuh
adalah berhadap – hadapan .Mereka yang mengartikan yang sama adalah karena pada waktu talqin yang diberikan itu la ilaha illa Allah dengan cara berhadap-hadapan dan setelahnya dia mengucapkan janji / di tugas untuk melakukan dzikir sesuai petunjuk .
Talqin Dari Sudut Pandang Kitab Miftahus Shudur
Miftahus Shudur.
Didalam kitab Miftahus Shudur halaman 12 diterangkanbahwa Rasulullah saw
melakukan mentalqin sahabat baik sendirian maupun berjama’ah Adapun
talqin yang berjama’ah disebutkan bahwqa Syaddad bin Aus berkata : pada
suatu waktu kami ada didekat Nabi saw, kemudian beliau bertanya “adakah
orang lain?” yakni ahli kitab yang lain, aku menjawab “tidak ada”
kemudian beliau menyuruh mengunci pintu lalu ditalqinkanlah لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ kepada kami , kemudian Nabi berdo’a.
اَلحَمْدُ للهِ اللهُمَّ اِنَّكَ بَعَثَنِى بِهَذِهِ الكَلِمَةِ وَوَعَدْتَنِى عَلَيْهَا الْجَنَّةَ وَاِنَّكَ لاَتُخْلِفُالْمِعَاْدَ
Kemudian beliau bersabda: “Hanyalah kamu sekalian diberi khabar gembira bahwa Allah swt telah memberikan ampunan kepada kalian”.
Adapun talqin yang seorang diriwayatkan oleh Yusuf al Kaoroni dan oleh yang lainnya dengan sanad yang shohih bahwa Ali bin Abi Tolib ra meminta kepada Rasulullah saw sebagai berikut:
دُلَّنِى عَلَى اَقْرَبِ الطُّرُقِ اِلَى اللهِ وَاَسْهَلِهَا عَلَى عِبَاْدِهِ وَاَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلعم عَلَيْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ. اَفْضَلُ مَا قُلْتُ اَنَا والنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِى لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ ولّو اَنَّ السَّمَوَاْتِ السَّبْعِ وَالاَْرَضِيْنَ السَّبْعِ فِى كَفَةٍ وَلاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ فِى كَفَةٍ لَرَجَحَتْ بِهِنَّ .
“Tunjukkanlah
aku jalan menuju Allah swt yang terdekat,dan paling mudah bagi
hamba-hambaNya serta paling afdol menurut Allah .Nabi bersabda kamu
harus mudawamah dzikrullah .Ucapan yang paling afdol yang aku ucapkan
dan oleh Nabi-Nabi sebelum aku ialah LA ILAHA ILLA ALLAH, andaikan langit yang tujuh beserta bumi yang tujuh ada disebelah (ditimbang) timbangan dan LA ILAHA ILLA ALLAH ada disebalah (ditimbang) timbangan, maka LA ILAHA ILLA ALLAH masih lebih berat”.
Kemudian
Rasulullah menjelaskan bahwa tidak akan terjadi qiyamat selama diatas
bumi ini masih ada yang membaca LA ILAHA ILLA ALLAH .Kemudian Ali bin
Abi Talib berkata:” bagaimana aku berdzikir ya Rasulallah ? “ lalu Nabi
saw menyuruh agar Ali memejamkan matanya, lau mengucapkan LA ILAHA ILLA
ALLAH tiga kali, dan Ali menirunya.
Jenis Talqin
Macam macam talqin.
Adapun cara mentalqinkan, menurut madhab Al Syafi’i dan sejumlah ulama lainnya adalah antara lain sebagai berikut :
(1). Dilakukan dengan suara yang lemah lembut,
(2). Tidak mendesak dan memaksakannya untuk mengucapkan kalimat syahadat,
(3).
Tidak dalam bentuk menyuruh: “katakan laa ilaha illa Allah, tetapi
cukup disebut saja kalimat itu sekadar didenagr oleh si sakit agar ia
sadar dan dengan kemauannya sendiri ia mengucapkannya,
(4).
Jika ia sakit sudah mengucapkan kalimat syahadat itu sekali, jangan
diulangi lagi, kecuali jika ia mengucapkan kalimat lain sesudah itu.
Yang diusahakan adalah akhir perkataan yang diucapkan didunia adalah
kalimat tauhid, sebagaimana tujuan dari talqin;
(5).
Orang yang mentalqinkan seyogyanya bukan orang yang akan mewarisi harta
peninggalan si sakit dan bukan pula orang yang dengki padanya atau
musuhnya;
(6)
Jika tidak ada orang yang hadir menjelang ajalnya itu selain dari ahli
waris, orang yang dengki atau musuhnya, maka yang mentalqinkan sebaiknya
salah seorang dari ahli warisnya, dan yang dipilih adalah ahli waris
yang paling sayang kepadanya, demikian juga jika yang hadir hanya
calon-calon ahli waris.
Talqin kepada orang yang sudah meninggal dunia.
Disamping
talqin diberikan kepada orang yang akan meninggal dunia, sebagian ulama
ada pula yang berpendapat bahwa talqin yang dilakukan untuk memberikan
tuntunan kepada orang yang sudah meninggal dunia ketika mayatnya baru
dimasukkan kedalam kubur. Menurut Prof Dr Hamidullah (Guru besar
Ilmu-ilmu ka Islaman dan salah seorang anggota pusat kebudayaan Islam di
Paris), hal ini disebabkan orang Islam percaya bahwa orang yang
meninggal dunia akan didatangi oleh dua malaikat didalam kuburnya. Dua
malaikan ini mengajukan beberapa pertanyaan kepada mayat, karena itu
setelah mayat dikuburkan ada orang yang membacakan sebuah naskah
(talqin) yang berisi tuntunan kepada mayat dalam memberikan jawaban
terhadap pertanyaan malaikat itu.
Diantara isi talqin ini yang terpenting adalah pernyataan (sebuah jawaban atas pertanyaan malaikat) .
Dalam pertanyaan itu مَن رَبُّكَ ؟ siapa Tuhan mu ? . jawabnya adalah اَللهُ رَبِّي Allah Tuhanku .Pertanyaan kedua ما دِيْنُكَ ؟ Apa agamamu ?, maka jawabnya adalah اَلاِسْلاَمُ دِيْنِي Islam agamaku, Pertanyaan ketiga مَنْ نَبِيُّكَ ؟ Siapa Nabimu ? , maka jawabnya adalah مُحَمَّد رَسُوْلَُالله نَبِيِّ Rasulullah adalah Nabiku. Pertanyaan keempat adalah مَاْ كِتَاْبُكَ ؟ Apa Kitabmu ? .maka jawabnya adalah اَلْقُرْاَنْ كِتَاْبِي Al Qur’an Kitabku . Pertanyaan kelima مَاْ قِبْلَتُكَ ؟ Apa Kiblatmu ? .maka jawabnya adalah بَيْتُ اللهِ قِبْلَتيِ Baitullah Kiblatku .Pertanyaan keenam مَن اِخْوَاْنُكَ ؟ siapa saudara-saudaramu ? maka jawabnya adalah اَلْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَاْنيِ semua mukminin adalah saudaraku .
Kemudian ditutup dengan ayat Al Qur’an surat Al Fajr ayat 27
يَاْ أَيَّتٌهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّة اِرْجِعِي اِلَى رَبِّكِ رَاْضِيَةً مَرْضِيََةً فَادْخُلِى فِى عِبَاْدِى وَادْخُلِى جَنَّتِى
“Hai
jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridoi Nya ,Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hambaKu dan masuklah kedalam surgaKu” .
Dasar hukum yang dilakukan untuk mentalqin ini adalah Hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Sa’id al Hudri diatas. Didalam Hadits itu disebutkan لَقِّنُواْ مَوْتَاكُمْ “talqinkanlah mayat-mayatmu” .
Kata (lafadz) maotaa merupakan jamak dari mufrod mayat yang berarti orang yang
sudah meninggal dunia. Ini merupakan makna hakiki (haqiqot) sedangkan
maotaakum diartikan sebagai orang yang akan meninggal dunia (sekarat)
yang merupakan arti majazy (kiasan). Sedangkan dalam kaidah disebutkan:
اَلأَصْلُ فِى الْكَلاَمِ اَلحَْقِيقَة yang asal /pokok dalam perkataan itu
adalah makna hakikat. Oleh karena itu menurut pendapat ini hukum
membaca talqin diatas kubur adalah sunah,tetapi pendapat ini ada
ditentang oleh ulama lain. Menurut yang terakhir ini hadits riwayat Abu
Sa’id al Khudri diatas harus diartikan dengan
makna majazi, yaitu orang yang sudah kelihatan tanda-tanda akan
meninggal dunia. Pendapat ini ditunjang oleh hadits riwayat Mu’adz bin
Jabal yang menyebutkan: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ “orang
yang akhir kalamnya adalah akan masuk surga”., ini berarti orang itu
masih hidup, bukan mayat, sebab orang mati tidak akan bisa bicara.
Talqin Dan Bai'at
Talqin dan Bai’at.
Talqin .
Talqin artinya mengajar; kata talqin berasal dari bahasa Arab yang dalam ilmu shorof di tashrif berbunyi لَقَّنَ يُلَقِّنُ تَلٌقيْناًً artinya mengajar. Kata talqin merupakan bentuk mashdar (infinitif/bentuk nominal yang diturunkan dalam bentuk verba), yang secara etimologis berarti mendikte, mengajar, dan memahamkan secara lisan .
Didalam istilah fikih berarti bimbingan mengucap kalimat ikhlash (la ilaha illa Allah) yang
artinya: tiada Tuhan selain Allah. Atau kalimah syahadat yang diberikan
oleh seorang mukmin kepada seorang mukmin lain yang telah menampakkan
dirinya tanda-tanda kematian atau dalam keadaan sakaratul maut. Tujuan
bimbingan ini adalah untuk mengingatkan orang yang akan meninggal dunia
itu pada tauhid, sehingga akhir ucapan yang
keluar dari padanya adalah la ilaha illa Allah atau akhir ingatannya
kepada Allah semata. Ini semata didasarkan kepada sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud yang dinilai shahih oleh Al Hakim dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw bersabda :
مَنْ كَاْنَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“ Barang siapa yang akhir kalamnya la ilaha illa Allah maka dia masuk surga”.
Dan didasarkan pada hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri
لَقِّنُوْا مَوْتَاْكُمْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
“ Ajarkanlah olehmu sekalian la ilaha illa Allah kepada orang – orang yang mati (orang-orang yang akan mati)”
.
Dalam riwayat lain dengan pengertian yang sama tidak berbunyi kalamihi melainkan berbunyi qaulihi, sehingga dapat ditafsirkan dengan arti lain, karena sebagian ulama berpendapat bahwa kalam itu bukan dalam arti berbunyi tetapi dalam arti memberi isyatat, artinya dengan isyarat itu dia telah melakukan ma’na yang sama yaitu kandungan la ilaha illa Allah.
Talqin kepada orang yang akan meninggal dunia.
Jumhur (mayoritas) berpendapat bahwa kalimat talqin yang yang diajarkan kepada orang yang akan meninggal dunia itu adalah la ilaha illa Allah saja, ini memang sesuai dengan dohirnya hadits diatas, tetapi sebagian ulama antara lain Al
Qodi Abu Toyyib dalam kitab Al Hawi (yang sempurna /yang menghimpun)
Nashor al Maqdisi dalam kitab Al Kaafy (yang memadai), Al Jurjany dalam
kitab Al Tahir (yang suci), dan Al Syasi dalam kitab Al Mu’tamad (yang standar) berpendapat bahwa kalimat yang di talqinkan itu adalah dua kalimat syahadat, yaitu :
لاَاِلَهَ اِلاَّ اَللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اَللهِ
“Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah”.
Alasannya
maksud talqin ialah mengingatkan orang yang sedang sakit, agar ingat
kepada tauhid dan itu memang berpautan dengan kalimat syahadat. Menurut
Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari seorang tokoh madhab Syafi’I dalam kitabnya Sabilul Muhtadin (jalan orang-orang yang mendapat hidayah) tidak di sunahkan menambah kalimat la ilaha illa Allah dan kalimat Muhammad Rasulullah saw karena tidak ada hadits yang menerangkan hal tersebut. Lagi pula yang ditalqin itu adalah orang Islam sehingga tidak diperlukan tambahan tersebut.
Dzikir
Dzikir
Artinya:
menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga, mengerti, perbuatan baik.
Ucapan lisan, gerakan raga, maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara
yang diajarkan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt,
upaya untuk menyingkirkan keadaan lupa dan lalai kepada Allah swt dengan
selalu ingat kepadaNya. Keluar dari suasana lupa, masuk ke dalam
musyahadah (saling menyaksikan) dengan mata hati, akibat di dorong oleh
rasa yang mendalam oleh Allah swt.
Ibnu
Atho, seorang sufi yang menulis Al Hikam (kata-kata hikmah) membagi
dzikir kepada tiga bagian: yaitu dzikir jali (Dzikir jalas / nyata),
dzikir khofi (dzikir yang samar-samar) dan dzikir hakiki (dzikir yang
sebenar-benarnya).
Dzikir
jali ialah suatu perbuatan mengingat Allah swt dalam bentuk
ucapan-ucapan lisan yang mengandung arti pujian, rasa syukur, dan do’a
kepada Allah swt. yang lebih menampakkan suara yang jelas untuk menuntun
gerak hati. Misalnya dengan membacakan tahlil (mengucapkan kalimat la
ilaha illa Allah = tiada Tuhan selain Allah), tasbih ( mengucapkan
kalimat Subhana Allah = Maha Suci Allah), takbir (mengucapkan kalimat
Allahu akbar = Allah Maha Besar), membaca Al Qur’an atau do’a lainnya.
Mula-mula dzikir ini diucapkan lisan, mungkin tanpa dibarengi ingatan
hati. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang awam (orang kebanyakan).
Tapi hal ini dimaksudkan untuk mendorong agar hatinya hadir menyertai
ucapan-ucapan lisan itu.
Dzikir jali ini ada yang sifatnya Muqoyyad (terikat) dengan waktu, tempat,
atau amalan tertentu lainnya. Misalnya ucapan-ucapan dalam shalat,
ketika melakukan ibadah haji, do’a-do’a yang diucapkan ketika akan
makan, akan tidur, bangun tidur, pergi keluar rumah, mulai bekerja,
mulai belajar, melihat teman berbaju baru dan sebagainya. Banyak Al
Qur’an yang isinya perintah dari Allah swt agar manusia senantiasa
berdzikir mengingat Allah swt. Beberapa diantaranya ialah Surat An Nisa
ayat 103
“Maka
apabila kamu telah menyelesaikan shalat mu, ingatlah Allah diwaktu
berdiri,diwaktu duduk, dan diwaktu berbaring.Kemudian apabila kamu telah
merasa aman maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa. Sesungguhnya
shalat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”.
Surat Al Maidah ayat 4
: ...........وَاذْكُرُواْ اْسمَ اللهِ عَلَيْهِ وَاتَّقَُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ سَرِيعُ الحِسَابِ...............
“……Dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan
bertaqwalah kepada Allah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah sangat cepat hisabnya” .
Surat Al Hajj ayat 36
:..........فاَذْ كُرُوْا اسْمَ الله ِعَلَيْهَا صَوَّافَ..........
“Maka sebutlah Nama Allah sambil berdiri”.
Surat al Jum’ah ayat 10
وَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلَوةُ فَانْتَشِرُواْ فِيْ الاَرْضِ وَابْتَغُواْ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرَواْ اللهَ كَثِيْرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونْ. .
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlaah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” .
Dzikir
jali yang sifatnya mutlak atau tidak terikat dengan waktu dan tempat
misalnya mengucapkan tahlil, tasbih dan takbir dimana saja dan kapan
saja.
Dzikir
khafi adalah Dzikir yang dilakukan secara khusyu’ oleh ingatan hati
baik disertai Dzikir lisan ataupun tidak. Orang yang sudah mampu
melakukan Dzikir seperti ini hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan
dengan Allah swt. Ia selalu merasakan kehadiran Allah swt kapan dan
dimana saja. Didalam dunia sufi terdapat ungkapan bahwa seorang sufi
ketika melihat suatu benda apa saja, yang dilihatnya bukan benda itu,
tetapi Allah swt. Artinya bukan berarti benda itu Allah swt tetapi
pandangan hatinya jauh menembus melampaui pandangan matanya. Ia melihat
bukan saja benda itu tetapi juga menyadari akan adanya khalik yang
menciptakan benda itu.
Tingkatan
yang paling tinggi ialah dzikir hakiki, yaitu dzikir yang dilakukan
oleh seluruh jiwa raga, lahiriah dan batiniyah, kapan dan dimana saja,
dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa dari kalangan
Allah swt dan mengerjakan apa yang diperintahkanNya. Selain itu tiada
yang diingat selain Allah swt. Untuk mencapai tingkatan dzikir hakiki
ini perlu dijalani latihan-latihan mulai dari tingkat dzikir jali dan
dzikir khafi.
Untuk
melakukan dzikir, seseorang tidak harus berdiam diri dalam satu tempat
kemudian membacakan dzikir. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari
Aisah binti Abu Bakar ra dikatakan Rasulullah saw senantiasa mengingat
Allah swt (dzikir) dalam setiap saat. Pada hadits lain diriwayatkan
bahwa Rasulullah saw bersabda : Kalau aku membaca Subhana Allah, Al
hamdu li Allah, La ilaha illa Allah dan Allahu Akbar ( Maha suci Allah,
segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha
Besar), maka bacaan itu aku lebih gemari dari pada mendapatkan kekayaan
sebanyak apa yang berada dibawah sinar matahari (H.R. Muslim).
Dzikir
dzikir yang di contohkan Rasulullah saw tersebut merupakan dzikir yang
mudah dilakukan, sehingga siapapun dapat melakukannya, baik yang sudah
mencapai tingkatan dzikir yang tinggi maupun bagi para pemula.
Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang bertasbih setiap selesai shalat sebanyak
33 kali, tauhid 33 kali, takbir 33 kali kemudian di genapkan menjadi
100 dengan La ilaha illa Allahu wadahu la syarika lahu lahul mulku wa
lahul hamdu wahuwa ‘ala kuli syai in qodiir (Tidak ada Tuhan selain
Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagiNya, yang mempunyai kerajaan yang
pantas di puji, Ia Maha Kuasa segala sesuatu), niscaya di ampuni
dosa-dosanya walaupun dosa itu sebanyak buih dilaut”.
Dalam
hadits yang juga diriwayatkan Muslim, Sa’ad bin Abi Waqos menceritakan,
ketika sedang duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba Nabi saw
bersabda: “Adakah diantara kalian yang lemah sehingga tidak mampu
berbuat seribu buah kebajikan dalam setiap hari?. Diantara sahabat ada
yang langsung menanyakan “ Bagaimana caranya?” Nabi saw menjawab:
“Membaca tasbih seratus kali, maka tercatat untuk seribu kebajikan, dan
dihapuskan dari padanya seribu kesalahan”.
Berdzikir
secara teratur dan dengan disiplin perlu diamalkan, mulai dari dzikir
jali untuk kemudian ditingkatkan kepada tingkatan yang lebih tinggi.
Dzikir dapat melembutkan hati sehingga seseorang yang melakukannya dapat
melihat dan mengikuti kabenaran serta terpelihara dari godaan syetan.
Shalat
meskipun merupakan ibadah formal, karena dimaksudkan untuk mengingat
Allah swt yang mana itu juga dapat di sebut salah satu bentuk dzikir.
Dalam surat Toha ayat 14 disebutkan :
اِنَّنِي اَنَا اللهُ لاَ اِلَه َاِلاَّ اَنَا فاَعْبُدُوْنِى وَاَقِمِ الصَّلَوْةَ لِذِكْرِيْ
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah , tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.
Shalat
yang dilakukan dengan baik dan dengan dzikir yang mendalam akan
melindungi orang yang melakukannya dari perbuatan keji dan munkar. Al
Qur’an surat Al “Ankabut ayat 45 :
أُتلُ مَا اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتَاْبِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ اِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَىْ عَنِ الفَخْشَا وَالمُنْكَرِ.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu ,yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya ahalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”.
Dalam
istilah lain yang diketahui dari Syekh Shohibul Wafa Tajul Arifin bahwa
dzikir itu ada yang bil lisan dan ada yang bil jinan, yaitu yang
menurut Ibnu Atho ada tiga, disini ada dua karena dzikir khofi dan
dzikir hakiki adalah satu yaitu disebut dengan dzikir bil jinan,
sedangkan dzikir jali disebut dengan dzikir bil lisan dan selanjutnya
yang bil jinan biasa disebut dengan khofi sedangkan yang bil lisan biasa
disebut dengan jahar.
Sumber Ensi.
Senin, 15 Juli 2013
Penjelasan Khodam
Ilmu khodam
Khodam adalah merupakan manifestasi energi pintar yang terlahir dari sebuah doa, mantra dan tatalaku ritual spiritual tertentu yang mengandung tingkatan konsentrasi yang tinggi kepada sang pencipta alam dibarengi doa doa atau cita – cita agar terkabulnya suatu maksud dan tujuan.
khodam adalah bahasa arab yang memiliki arti yaitu pembantu. ( khodam = pembantu wanita. khadam = pembantu pria).
Kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh orang yang melakukan olah batin seperti puasa, bertapa, semedi, membaca mantra atau wirid amalan tertentu sebetulnya adalah dari Khodam. Disadari ataupun tidak, setiap olah batin yang dilakukan manusia selalu menimbulkan energi-energi yang memiliki kesadaran/kecerdasan sendiri. Inilah peran dari khodam. Mereka diciptakan Tuhan sebagai perantara yang membawa kekuatan supranatural bagi orang-orang yang dikehendaki.Sebagian orang beranggapan bahwa memiliki khodam (atau ilmu spiritual yang ada khodamnya) adalah sebuah kesyirikan atau dosa besar. Bagi kami, pendapat ini adalah pendapat yang “membabi buta” karena pengertian khodam sangat luas. Sedangkan khodam sendiri terdiri dari berbagai jenis yang tidak mampu disamakan. Berikut ini pembahasan panjang mengenai khodam. Selamat membaca….
Istilah “khodam” berasal dari bahasa arab yang berarti pembantu, penjaga atau pengawal yang selalu mengikuti. Dalam bahasa arab pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun dan satpam juga mampu disebut sebagai khodam. Namun dalam konteks ilmu spiritual, istilah “khodam” digunakan khusus untuk menyebut makhluk gaib yang mengikuti pemilik ilmu spiritual atau yang mendiami suatu benda pusaka. Dalam konsep spiritual jawa, khodam disebut sebagai “prewangan” yang artinya adalah orang yang membantu.
Khodam dalam konsep mistik islam dan jawa diyakini sebagai “jiwa” suatu ilmu. Khodam memberi energi pada pemilik ilmu sehingga mampu melakukan hal-hal diluar kewajaran. Tentu saja ada khodam yang minta imbalan ada pula yang “gratis” karena khodam ini datang karena kehendak Allah, bukan “dipaksakan” oleh manusia. Yang dimaksud “dipaksakan” adalah khodam ini datang karena seseorang melakukan ritual pemanggilan yang ditujukan untuk meminta tolong kepada khodam dari golongan jin.
Mengenai siapakah sebernarnya khodam, para spiritualist berpendapat berbeda-beda. Kelompok pertama mengatakan khodam adalah jenis makhluk tertentu yang khusus diciptakan Tuhan sebagai “pembawa” kekuatan bagi para pemilik ilmu dan benda pusaka. Kelompok ini tidak punya dalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya, jadi pendapat ini boleh kita abaikan.
Kelompok kedua berpendapat bahwa khodam hanyalah sebutan atau julukan bagi Jin, Qorin dan Malaikat yang membantu manusia. Seperti istilah “setan” yang sebetulnya bukanlah jenis mahluk, melainkan hanya julukan bagi jin atau manusia yang suka berbuat kejahatan. Dalam kitab Al-Quran pun diterangkan bahwa Tuhan hanya menciptakan hambanya yang berakal dalam tiga bentuk saja, yaitu: Malaikat, Manusia dan Jin. Ustadz Firman sendiri lebih meyakini pendapat kedua ini.
Mengapa Khodam membantu manusia?
Karena khodam terdiri dari tiga jenis makhluk yaitu Jin, Qorin dan Malaikat, maka alasan mereka bersedia membantu manusia juga berbeda-beda. OK. agar Anda lebih paham, kami jelaskan satu per satu dibawah ini:
1. Khodam Jin
Pelu Anda ketahui bahwa kehidupan sosial jin sama seperti manusia. Mereka terdiri dari bermacam-macam ras dan kelompok yang sangat kompleks. Setiap jin punya sifat dan kebutuhan yang berbeda-beda seperti pada manusia. Begitu pula dalam dalam membantu manusia, mereka punya alasan yang berbeda-beda. Namun secara garis besar, ada 5 alasan mengapa jin mau membantu manusia.
#Ingin menyesatkan manusia. Kelompok jin ini adalah tentara ilbis yang ditugaskan untuk membantu para tukang sihir dan penganut ilmu hitam. Orang yang ingin memiliki khodam jenis ini harus melakukan perbuatan atau ritual yang melanggar aturan Tuhan. Misalnya untuk medapatkan ilmu sihir mereka harus menyediakan sesaji, makan darah, membunuh, melakukan dosa besar dan sebagainya. Jin jenis ini sangat senang jika manusia yang didampinginya jauh dari agama.
Bukan hanya penganut ilmu hitam saja yang dibantu oleh jin tentara iblis ini. Para penganut thariqoh (orang yang menapaki jalan spiritual menuju Tuhan) dan orang soleh yang kurang waspada pun disesatkan oleh jin golongan ini. Awalnya jin mengaku sebagai guru spiritual yang sudah meninggal atau malaikat yang akan membimbingnya dan membantu segala usahanya. Seketika seorang ahli thariqoh pun memiliki banyak “kesaktian”. Namun perlahan-lahan jin cerdas ini memperdaya ahli thariqoh hingga dia melanggar aturan agama.
#Ingin mendapat keuntungan dari manusia. Khodam Jin jenis ini selalu meminta imbalan dalam bentuk sesaji, persembahan, korban, bahkan ada yang mengadakan perjanjian, jika sudah sampai waktu yang ditentukan pemilik ilmu bersedia menjadi budak/pengikut di alam jin. Orang yang menjadi budak jin, meniggalkan jasadnya, kemudian jiwanya dibawa ke alam jin. Sehingga dia tampak mati bagi orang awam, padahal dia sebetulnya belum mati. Nanti ketika sudah sampai batas usianya, malaikat maut baru menjemputnya untuk dihadapkan kepada Tuhan. Oleh karena itu jangan pernah berniat untuk mendapatkan pesugihan atau “harta gaib” yang datang tiba-tiba dengan bantuan jin.
Keadaan ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Jin ayat 6, yang terjemahnya: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
#Karena mencintai manusia. Kadang kami menemui ada jin yang mengikuti manusia dengan alasan cinta. Cinta yang kami maksud adalah seperti cinta pria kepada wanita. Umumnya jin yang seperti ini selalu berusaha membantu manusia yang dicintainya, sekaligus mengganggu. Bentuk bantuannya mampu berupa kemampuan mengobati, perlindungan dari kejahatan, kemampuan mengetahui rahasia orang dan sebagainya. Sedangkan gangguannya biasanya berupa: merasa diikuti seseorang, sulit mencintai, hubungan cinta selalu gagal, kesurupan/kerasukan dan sering mimpi bersetubuh. Bahkan kadang ada jin yang datang dalam wujud manusia untuk menyetubuhi manusia dalam keadaan sadar.
#Persahabatan. Bagi sebagian orang yang memiliki ilmu spiritual tertentu, bersahabat dengan jin bukanlah hal mustahil. Idealnya hubungan persahabatan adalah saling membantu dan berbagi. Namun kenyataannya hubungan persahabatan dengan jin mampu menguntungkan atau merugikan Anda, bahkan kadang juga menyesatkan Anda. hal ini sama jika kita bersahabat dengan sesama manusia. Jika sahabat kita adalah orang baik, maka kita pun terbawa menjadi baik. Tapi jika kita berteman dengan penjahat, maka kita pun mampu dirugikan atau malah bergabung menjadi penjahat. Semua itu tergantung sifat dan kepribadian Anda. Hubungan persahabatan inilah yang menjadi dasar
Ijazah Hizib Para Wali
Hizib
adalah amalan doa/wirid yang dibuat oleh para Wali atau Ulama. Hizib
sangat banyak ragamnya dan biasanya dinamai sesuai nama penyusun Hizib
tersebut. Misalnya Hizib Nawawi adalah amalan hizib yang disusun oleh
Syekh Muhyiddin Zakariyya Yahya An- Nawawi.
Orang-orang yang mampu menyusun hizib
tentu saja bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang yang
dibukakan hatinya oleh Allah untuk memahami rahasia-rahasia huruf dan
ayat Allah. Sehingga, dengan karunia Allah tersebut, mereka bisa
menyusun hizib yang punya berbagai maca
manfaat.
Kamis, 27 Juni 2013
Penjelasan Ayat Dakwah Surah Al-Imran 110
TERJEMAHAN SURAH AL-IMRAN 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ(110)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik” (QS. Ali Imran 110). Predikat Dari Allah SWT untuk Umat Muhammad
saw
Firman Allah SWT di atas merupakan pernyataan
dari Allah SWT bahwa umat Sayyidina Muhammad saw., yakni kaum muslimin, sebagai
umat yang terbaik di antara umat manusia di muka bumi. Imam Al Qurthubi dalam
tafsirnya mengutip sebuah hadits dari Bahz bin Hakim bahwa tatkala
membaca ayat ini Rasulullah saw. bersabda:
أنتم تتمون سبعين أمة أنتم خيرها و أكرمها عند الله
“Kalian adalah penyempurna dari 70 umat, kalian yang terbaik di
antara mereka dan termulia di sisi Allah” (HR. At Tirmidzi).
Menurut Imam Qurthubi dan Imam Ibnu
Katsir, predikat tersebut sama dengan predikat “ummatan wasathan”
yang Allah sebut dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah 143)
Berkaitan dengan kondisi umat yang terpuruk
sekarang ini, ada yang bertanya apakah predikat tersebut hanya untuk kaum
muslimin terdahulu, yakni di masa shahabat, ataukah berlaku hingga hari
kiyamat?
Menurut Ibnu Abbas r.a., sebagaimana
dikutip Imam Al Qurthubi, kelompok orang yang berpredikat umat terbaik yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang berhijrah dari Mekkah ke
Madinah, yang ikut dalam perang Badar, dan ikut dalam perjanjian Hudaibiyah.
Namun Umar bin Khaththab mengatakan bahwa siapa saja yang beramal seperti
mereka, levelnya seperti mereka.
Dalam lafazh كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ, ungkapan tersebut ditujukan
kepada umat Nabi Muhammad saw. Lafazh كُنْتُمْ (fi’il madli) tidak
dimaksudkan untuk menyatakan keadaan kaum muslimin pada masa lalu, melainkan
bermakna (antum), artinya: demikianlah Allah SWT membentuk kalian. Hal
ini sama seperti firman Allah SWT.: “wa kaana Allaahu samii’an bashiira.” Yang
tentu tidak diartikan bahwa Allah SWT dulu Maha Mendengar dan Maha Melihat,
sedangkan sekarang sudah tidak demikian keadaannya. Maha suci Allah dari yang
demikian! Oleh karena itu, Imam Az Zamakhsyari dalam tafsirnya Al
Kasysyaf Juz I/392 menyebut dikatakan bahwa dalam ilmu Allah kalian adalah
umat terbaik. Juga, kata beliau, bisa diartikan bahwa kalian disebut-sebut di
kalangan umat-umat terdahulu sebagai khairu ummah. Tentang tak perlu
dipertentangkannya apakah yang terbaik di antara umat Islam ini, yang awal
ataukah yang akhir, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya mengutip sebuah
riwayat hadits bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
أمتي كالمطر لا يدري أوله خير أم آخره
“Umatku bagaikan hujan, tak diketahui, yang lebih baik itu yang
pertama ataukah yang terakhir” (HR. Abu Dawud At
Thayalisi dan Abu Isa At Tirmidy).
Lafazh أُخْرِجَتْ لِلنَّاس merupakan sifat dari khairu
ummah, yang artinya ditampilkan atau dimenangkan atas manusia. Ini
menunjukkan bahwa kaum muslimin bukan dibangkitkan untuk umat Islam semata, melainkan
untuk seluruh umat manusia. Sebagaimana Rasulullah saw diutus untuk seluruh
umat manusia, kaum muslimin pun mengikuti perjuangan beliau saw, yakni
mengemban risalah Islam ke seluruh umat manusia.
Firman Allah “kuntum khaira ummah”,
Imam Bukhari berkata: dari Muhammad Bin Yusuf, dari Sufyan Ibn Maysarah, dari
Abi Haazim dari Abi Hurairah Ra, (Kuntum khairo ummah ukrijat linnas) berkata:
“sebaik-baik manusia untuk manusia yang lain yaitu dating kepada mereka dengan
terbelenggu leher-leher mereka sampai mereka masuk ke dalam Islam, dan seperti
ini yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid dan ‘Ithiyah al-‘Ufi. Dapat
berarti pula sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya”.
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik
manusia yang pandai di antara mereka dan paling bertakwa di antara mereka, dan
menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar,
menyambung tali silaturahim”. (diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya).
Penafsiran yang kuat menurut Ibnu
Katsir bahawa sebaik-baik manusia adalah para sahabat yang membersamai
Rasulullah, kemudian seterusnya dan seterusnya. Mereka yang berhijrah bersama
Rasulullah, dari Mekkah ke Madinah, dapat pula berarti generasi awal Islam
kemudian yang meneruskan da’wah Rasulullah s.a.w. yang diperintahkan Allah
kepada kaum Muslimin untuk ditaati mereka.
Khairu Ummah yaitu orang-orang yang
menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan menjauhi dari pada yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Dan termasuk dari pada mereka pula adalah para Mujahid dan
para Syuhada.
Kemudian firman Allah “walau aamana
ahlul kitab” :seandainya orang-orang ahli taurat dan injil dari golongan Yahudi
dan Nasrani membenarkan ke Rasulan Nabi Muhammad S.A.W. yang
demikian itu tidak lain datangnya dari Allah (petunjuk dari Allah).
Laksana khorallahun yakni yang demikian itu lebih baik bagi mereka baik di
dunia mahupun di akhirat. Minhumul mu’minun: yakni ahli kitab dari golongan
orang Nasrani dan Yahudi yang mereka membenarkan Rasulullah s.a.w. dan masuk
islam. Mereka itu yakni Abdullah Bin Salam dan saudaranya, Tsa’labah dan
saudaranya, dan pemuda-pemuda yang beriman kepada Allah dan membenarkan
kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan mengikuti apa-apa yang diturunkan kepada mereka
dari Allah, kemudian Firman Allah “wa aktsaruhumul fasiqun”, yakni mereka
kembali kepada agama mereka yakni kereka yang pada mulanya beriman kepada Allah
kemudian beriman kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada nabi-Nya yakni
Muhammad s.a.w. kemudian mereka kembali kepada agama mereka. Mereka itulah
orang-orang fasiq.
PERUMUSAN MASAALAH
Keunggulan umat Terbaik
Keunggulan kaum muslimin yang menjadi umat terbaik ini di antara
umat manusia disebut oleh Abu Hurairah r.a. (lihat Al Qurthubi,
idem) dalam ucapannya:
نحن خير الناس نسوقهم بالسلاسل إلى الإسلام
“Kami adalah yang terbaik di antara manusia, kami mengarahkan
mereka untuk menapaki jalan mendaki menuju kepada Islam”.
Dan dengan cepatnya umat terbaik yang senantiasa
membimbing umat manusia ke jalan Islam, mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia, membuka berbagai wilayah bagi tegaknya kedaulatan Islam, serta
mendapati umat manusia dari berbagai bangsa, bahasa, negara, dan adat istiadat
menerima Islam sebagai keyakinan dan tataaturan hukum buat kehidupan mereka.
Mereka mengarahkan pikiran umat manusia dengan
cara yang argumentatif logis sebagaimana diajarkan oleh Allah SWT agar
senantiasa mengajak manusia berpikir dengan bukti-bukti yang nyata, yakni
dakwah bil hikmah (QS. An Nahl 125).
Apabila ada halangan fisik terhadap dakwah,
mereka dengan gagah berani menyingkirkan halangan fisik itu dengan jihad fi
sabilillah. Dan karena mereka adalah manusia unggulan, dalam perang pemikiran
maupun perang fisik pun mereka senantiasa unggul. Allah SWT menjamin kualitas
unggulan mereka dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ(65)
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang.
Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu,
mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan
orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti” (QS. Al Anfaal 65).
Jelaslah bahwa kualitas umat terbaik itu
dibandingkan dengan orang-orang kafir, atau umat-umat lain, adalah 1 orang
muslim bisa mengalahkan 10 orang kafir. Itu dalam kondisi prima, dalam kondisi
kaum muslimin ada kelemahan, Allah SWT masih memberikan garansi bahwa kaum
muslimin akan sanggup mengalahkan kekuatan orang kafir yang jumlahnya dua kali
lipat kekuatan mereka (QS. Al Anfaal 66). Dan sebab orang-orang kafir
itu kalah adalah karena mereka adalah kaum yang tak mengerti.
Syarat Unggulan Umat Terbaik
Mujahid, sebagaimana dikutip Imam
Al Qurthubi, mengatakan bahwa keunggulan umat Islam itu dengan syarat memenuhi
sifat-sifat yang disebut dalam ayat itu. Ada tiga sifat yang dimiliki oleh umat
pengemban risalah Muhammad saw ini yang menyertai predikat anugerah Allah SWT
sebagai umat yang terbaik, yakni: (1). Menyuruh kepada yang ma’ruf, (2).
Mencegah dari yang munkar, (3). Beriman kepada Allah SWT, sebagaimana
terdapat dalam lafazh:
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“kalian menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah”.
Itulah tiga sifat yang menjadi unsur-unsur
kebaikan umat Muhammad saw. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa iman kepada
Allah SWT tentu harus ada terlebih dahulu sebelum dua hal yang lain., yakni
amar ma’ruf dan nahi munkar. Demikian pula, umat yang terbaik itu mesti iman
kepada risalah Islam. Sebab aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tidak ditentukan
oleh tradisi masyarakat, melainkan oleh syariat yang diturunkan Allah SWT.
Menurut Imam Az Zamakhsyari (idem),
penyebutan iman kepada Allah SWT dalam ayat ini berarti juga termasuk iman
kepada segala yang diwajibkan oleh iman kepada Allah SWT, seperti iman kepada
Rasul-Nya, Kitab-Nya, hari kebangkitan, hari perhitungan, pahala dan siksa, dan
lain-lain. Menurutnya, jika tidak disertai iman kepada itu semua belum
terhitung sebagai iman kepada Allah SWT. Beliau melandasinya dengan firman
Allah SWT:
وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا(150)أُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ حَقًّا
“…mereka mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami
kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu)
mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah
orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (QS. An Nisa 150-151).
Dalam konteks kekinian, ketertarikan sebagian
umat Islam –lantaran kedangkalan mereka terhadap pengertian aqidah Islam
sebagai pandangan hidup mereka—kepada ideologi dan sistem hidup selain Islam,
seperti sosialisme, komunisme, sekularisme, kapitalisme, dan lain-lain
pandangan hidup yang bertentangan dengan Islam, bisa menjadikan mereka
tergelincir dari keimanan kepada Al;lah SWT yang sebenarnya. Dan pada
gilirannya, mereka tak bakal menemukan kehidupan yang bahagia dan sejahtera di
bawah naungan Islam. Apalagi mendapatlkan gelar umat terbaik. Sungguh jauh
panggang dari api!
Dalam mengulas ayat tersebut, Imam Ibnu
Katsir dalam tafsirnya menyertakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad bahwa Durrah binti Abi Lahab berkata bahwa seseorang bertanya kepada
Rasulullah saw sewaktu beliau berpidato di atas mimbar : “Siapakah orang
yang terbaik, ya Rasulullah? Rasulullah saw menjawab:
خَيْرُ النَّاسِ أَقْرَأُهُمْ وَأَتْقَاهُمْ لِلَّهِ وَآمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَنْهَاهُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحْمِ
“Manusia yang terbaik adalah manusia yang paling banyak membaca,
paling bertaqwa kepada Allah SWT, paling giat melakukan amar ma’ruf nahi munkar
dan paling suka bersilaturrahmi.”
Dari sini bisa kita pahami bahwa orang yang
terbaik adalah yang banyak pengertiannya (karena aktivitas membacanya) dan
paling memiliki sikap taqwa, yakni menjalankan perintah Allah SWT dan
larangan-Nya. Itu secara pribadi. Secara komunal, dia berperanan menegakkan
amar ma’ruf nahi mungkar, yakni membentuk sistem agar perintah dan larangan
Allah SWT menjadi standar umum di masyarakat dalam rangka mengatur interaksi
antar individu anggota masyarakat. Juga ia paling gemar melakukan silaturrahmi,
meningkatkan hubungkan antar karib kerabat yang merupakan salah satu kewajiban
Islam.
Ringkas kata, dia adalah orang yang senantiasa
berbuat baik dalam pandangan syari’at Islam, baik untuk dirinya, maupun untuk
umat manusia. Al Qurthubi mengutip sebuah hadits yang menyebutkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
خير الناس من طال عمره وحسن عمله و شر الناس من طال عمره و ساء عمله
“Sebaik-baik orang adalah orang yang berumur panjang dan baik
amalnya dan seburuk-buruk orang adalah yang panjang umurnya dan buruk
perbuatannya”.
Al-Amru Bil Ma’ruf Wa Al-Nahyu ‘Anil Munkar
Kata amar
merupakan bentuk yang dapat difahami bahawasanya itu menandakan adanya
perintah, seperti yang dikatakan kepada orang lain seperti afal,kata ini mengisyaratkan agar perintah tersebut mesti
dikerjakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah di dalam
kitabnya Majmu’ Fatawa menyebut pengertian amar
yaitu:
Artinya: “Sesungguhnya perintah (al-amr)
yaitu menuntut dan kehendak untuk melakukan sesuatu perbuatan”.
Makna ma’ruf secara bahasa kebanyakan
berputar di atas makna ‘semua perkara yang diketahui dan dimaklumi oleh manusia
satu dengan yang lainnya dan mereka tidak mengingkarinya’. Adapun secara
istilah,ma’ruf bermakna ‘semua perkara yang diketahui, diperintahkan, dan
dipuji pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk ketaatan,
dan yang paling utamanya adalah beriman kepada Allah Taala, dan
mentauhidkan-nya.
Sementara pengertian an-nahyu menurut Syaikhul Islam Ibnu
Taimiah yaitu:
“Dan an nahyu yaitu per,mintaan atau
kehendak untuk meninggalkannya”.
Munkar secara bahasa, maka maknanya
kebanyakan berputar di atas makna ‘semua perkara yang tidak diketahui dan tidak
diakui oleh manusia dan mereka mengingkarinya’. Adapun secara istilah, munkar
adalah ‘semua perkara yang diingkari, dilarang, dicela, dan dicela pelakunya
oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk maksiat dan bid’ah, dan yang
paling jeleknya adalah kesyirikan kepada Allah –‘Azza wa Jalla-, mengingkari
keesaan-Nya dalam peribadahan atau ketuhanan-Nya atau pada nama-nama dan
sifat-sifatNya’.
[Lihat Al-Qaulul Bayyinul Azhhar
hal,8-12]
Hukum Al-Amru bil Ma’ruf dan an-Nahyu ‘Anil Munkar
Menurut Ibnu Taimiah,Hukum al-Amru bil
Ma’ruf dan an-Nahyu ‘Anil Munkar adalah Fardhu Kifayah, yakni tidak diwajibkan
kepada setiap orang, jika delaksanakan oleh sebahagian orang maka gugurlah
kewajipan tersebut.
Analisis Terhadap Permasahalaan
Dari
pemaparan di atas dapatlah kita tarik beberapa kesimpulan
1.
Da’wah secara bahasa berarti memanggil, mengundang. Sementara menurut istilah
dapat berarti “da’wah adalah sebagai satu upaya, proses menuju Islam Kaffah,
sebagai cara hidup total dalam satu bingkai harakatud-da’wah yang memiliki
dimensi bina’an dan difa’an.”
2.
Sementara al-amru bil ma’ruf wa an-nahyu ‘anil munkar secara ringkas dapat
berarti memerintahkan atau menyuruh kepada yang ma’ruf (baik) dan mencegah dari
perbuatan yang munkar.
3.Hukum
al-amru bil ma’ruf wa an-nahyu ‘anil munkar menurut syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah adalah fardhu kifayah.
4.
Sementara tafsir surah Ali Imran ayat 110 dan secara garis besarnya berkisar
dalam masalah perintah untuk berda’wah, yakni berda’wah kepada kebaikan: da’wah
kepada tauhidullah, dan amar ma’ruh nahi munkar.
Jelaslah kini mengapa kaum muslimin disebut Allah SWT sebagai خَيْرَ أُمَّةٍ (umat terbaik) dan أُمَّةً وَسَطًا(umat yang adil dan pilihan), yakni lantaran umat ini
beriman kepada Allah SWT yang telah menurunkan syariat Islam yang paripurna
(QS. Al-Maidah : 3) kepada rasul-Nya Muhammad saw, serta senantiasa menegakkan
pelaksanaan syariat Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan
lil ‘alamin) dengan aktivitas ”amar ma’ruf nahi munkar”. Jika
umat ini masih memiliki unsur-unsur kebaikan umat tersebut, maka predikat
terbaik dan pilihan tersebut tentu masih lekat. Sebaliknya jika sifat itu
hilang, layaklah predikat itu tak tersandang lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)