Pages

Selasa, 16 Juli 2013

ABU BAKAR BIN AHMAD MANSOR
(S.Kom.I, CH, CHt, CI, MNLP)


Born In Kota Bharu, Kelantan, Malaysia.
~Founder and President Of Master Trance Academy [Malaysia-Indonesia]
~Leader/Admin In Team Dakwah Khalifah
~Trainer Multinasional, Consultant, Therapist,
~Mubaligh Thoriqot Qodiriyah Naqsyabandiyah 


Trainer, Coach, and expertise in the field of Hypnosis, NLP, Spiritual, Charisma, Body Language, Public Speaking, Excellent Teaching, Motivation, Da'wah and Persuasive Communication (Miton Erickson)

FORMAL EDUCATION

-Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
[Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah/ Universitas Latifah Mubarokiyah, 2010]


-Santri/Mubaligh
[Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya,Indonesia, 2010]
[ Pondok Jeram Pasu,Pasir putih,Kelantan, 2010]

-Sijil Pengajian Islam
[ Sultan Ismail Petra Internasional Islamic College, 2009-2010]


[Pondok Tahfiz Ar-Rahmaniah Neting,Tumpat,Kelantan, 2009]


[Sekolah Menengah Kebangsaan Putera, Kelantan 2004-2008]


NON-FORMAL EDUCATION
-Certified Hypnotist (CH)
-Certified Hypnotherapist (CHt)
-Certified Instructor (CI)
[IBH - Indonesian Board of Hypnotherapy]


-Licensed Neo Neuro Linguistic Programming Parctitioner (NNLP)
[Neo NLP Society Indonesia]


-Certified Hypnotist (CH)
-Certified Hypnotherapy (CHt)
-Certified Instructor (CI)
-Licensed NLP Practitioner (NLP)
-Licensed Master NLP Practitioner (MNLP)
[MTA - Master Trance Academy Malaysia-Indonesia]


-Certificate of Attendance
[ISHH - Indonesia School Hypnosis & Hypnotherapy]


-Certified Master Trainer Spiritual Hypnotivation Therapy (M.SHOT)
[Hypnosis SHOT Indonesia]


-Certified Public Speaking
[Radix Training & Consulting]
*****************************
I was a teacher and the coach in the field

-hypnosis-
-neuro linguistic programming-
-spiritual-
-the body language-
-charisma-
-meta physiká,
-the motivation-
-therapy-
-psychology-
-magic-

I liked this field, because he was our life was everyday

::Made preparations to teach the private class::

Bai'at

  Bai’at.

            Bai’at artinya ikrar janji setia seseorang kepada seorang pimpinannya, baik pemimpin politik maupun lainnya. Bai’at adalah bahasa Arab yang aslinya dari kata بَاعَ يَبِيْعُ بَيْعا ً   yang artinya menjual. Dari akar kata tersebut diketahui bahwa kata  bai’at pada mulanya dimaksudkan sebagai pertanda kesepakatan atas suatu transaksi jual beli antara dua pihak. Kesepakatan itu biasanya dilakukan dengan berjabatan tangan. Istilah ini kemudian berkembang sebagai ungkapan bagi kesepakatan terhadap suatu perjanjian  antara dua pihak secara umum.

            Pada zaman awal pemerintahan Islam pengertian bai’at berkembang  menjadi kesepakatan politik  atau kontrak sosial antar seorang pemimpin atau khalifah dan rakyatnya. Dengan demikian pemberi bai’at, dalam hal ini rakyat berjanji untuk melakukan apa saja bagi kepentingan pemimpin yang dibai’atnya, demikian pula sebaliknya, pemimpin tersebut dengan baia’at yang diterimanya berjanji akan melakukan segala sesuatu untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu bai’at terhadap seorang khalifah biasanya dilakukan dengan menjabat tangannya sebagai pertanda kesetiaan kepadanya.

            Pada masa Nabi Muhammad saw bai’at yang dilakukan kaum muslimin kepadanya lebih bersifat ikrar janji biasa untuk tetap membela Islam ,tanpa mempunyai ikatan yang bersifat politis tertentu. Bai’at-bai’at tersebut adalah bai’at ‘aqobah   pertama, bai’at aqobah kedua dan Bai’atur Ridwan. Bai’at aqobah pertama dan kedua adalah bai’at yang dilakukan oleh kaum anshor di Makkah, sedangkan Bai’atur Ridwan adalah bai’at yang dilakukan kaum muslimin ketika terjadi Gozwah Hudaibiyah  (suatu peperangan yang dipimpin lengsung oleh Rasulullah saw). Bai’at ini disebut Bai’atur Ridwan  yang artinya Bai’at yang diridoi Allah swt karena dalam surat Al Fath  ayat 18 dikatakan bahwa  Allah swt  rido terhadap mereka  yang melakukan bai’at tersebut .

لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَاْيِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوْبِهِمْ               
فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبٍا                                                
“Sesungguhnya Allah telah rido terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu  dibawah pohon, maka Allah mengetaui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka  dengan kemenangan yang dekat  waktunya (kemenangan pada perang Haibar)”.
          
Asbab nuzul ayat ini adalah :

Pada bulan Dzulhijjah tahun 6 H, Nabi saw beserta pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan Umrah, dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Usman bin Affan lebih dahulu ke Makkah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kaum muslimin. Nabi dan para sahabat menanti-nanti kembalinya Usman, tetapi tidak juga kunjung datang karena Usman ditahan oleh kaum musyrikin, kemudian tersiar lagi berita bahwa Usman telah dibunuh.Karena itu Nabi saw menganjurkan kaum muslimin melakukan bai’at (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan janji setia kepada beliau dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi saw  sampai kemenangan tercapai.

            Perjanjian setia ini telah diridoi Allah sebagaimana tersebut dalam ayat  18 surat Al Fath. Karena itu disebut Bai’atur Ridwan, Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin sehingga mereka melepaskan Usman dan mengirim utusan  untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin, dan perjanjian ini terkenal dengan nama Sulhul Hudaibiyah.

Dalam surat yang sama di ayat 10 Allah menerangkan sbb:

اِنَّ الذِّيْنَ يُبَاْيِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَاْيِعُوْنَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَاِنَّمَاْ يَنْكُثُ     
عَلَى نَفْسِهِ  وَمَنْ اَوْفَى بِمَاْ عَهَدَ عَلِيْهِ اللهُ فَسَيُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا                        
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah . Tangan Allah diatas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya  sendiri , dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah  maka Allah akan memberikan pahala yang besar”.

            Orang yang janji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasulullah saw  ialah meletakkan tangan Rasul diatas tangan yang berjanji  itu. Jadi maksud tangan Allah diatas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji  dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan tangan Allah diatas tangan orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan bahwa Allah  Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluk-Nya.

            Didalam Muftahus Shudur diterangkan bahwa sekelompok kaum yang berjanji setia menyebut nama Allah, dan mereka hanya untuk itu, mereka nanti akan di panggil dari langit dengan ucapan “ bangkitlah kalian, dan kalian telah Ku ampuni kesalahanmu / kejelekanmu telah kutukar dengan kebaikan” Allah berfirman Qur’an surat At Taubat ayat 111 :
وَمَنْ اَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الذِّىْ بَاْيَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الفَوْزُ العَظِيمُ

“Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?. Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu,  danitulah kemenangan yang besar”.

            Setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu dimulai pada sa’at  bai’at terhadap  khalifah pertama  Abu Bakar As Shiddiq  ( berkuasa  632 H –634 H)  hingga sesudah  mnasa khalifah Abbasiyah, pengertian bai’at berkembang menjadi ikrar politik. Dengan demikian  bai’at identik dengan pengakuan  dan ikrar janji setia seorang muslim terhadap seorang khalifah baik secara sukarela maupun terpaksa.

            Dalam doktrin Khilafah  (kehalifahan ) menurut Sunni bai’at merupakan salah satu cara bagi sahnya jabatan khalifah seseorang. Akan tetapi terjadi perselisihan dikalangan para pemikir Sunni  mengenai kriteria, syarat dan jumlah para  pemberi bai’at itu. Sebagian mengatakan bahwa bai’at itu cukup dilakukan oleh seorang sesepuh masyarakat atau Ahlul halli wal ‘aqdi (sekelompok pemuka masyarakat muslim yang dianggap layak untuk mengangkat atau  menurunkan seorang khalifah), dan sebagian lainnya  mengatakan bahwa bai’at  harus dilakukan oleh lebih dari seorang sesepuh masyarakat. Selain itu seorang muslim yang telah memberikan bai’at kepada bai’at maka Khalifah maka khalifah wajib patuh kepadanya dan tidak boleh membantah  atau menentangnya.

Sementara dalam doktrin Syi’ah  kecuali Syi’ah Zaidiyah (salah satu  sekte  Syi’ah yang  sangat dekat dengan faham Sunni), karena persoalan khilafah atau imamah bukan berdasarkan pemilihan umat atau syurq, melainkan berdasarkan washiyat  dan pengangkatan langsung oleh Khalifah /imam sebelumnya (disaebut dengan istilah An nass), maka bai’at  tidak berlaku sama sekali,  sebab suka atau tidak, suka berjanji setia atau tidak,  seorang muslim harus patuh  kepada seorsng pemimpin  atau imamnya.

            Dan perkembangan selanjutnya, yaitu setelah runtuhnya system khilafah  dari panggung politik Islam, bai’at lebih banyak digunakan  dalam pengertian ikrar janji  kepatuhan  pada Islam secara umum atau  atau melalui seorang seperti  yang dilakukan  oleh seorang pengikut tarekat kepada mursyidnya (pembimbing tarekat) dan kelompok-kelompok sempalan  tertentu  dalam Islam.

            Didalam tarekat kadang-kadang  antara  “talqin- baiat- tawajuh “  oleh para pengikutnya diartikan yang sama, yaitu diberikan pelajaran  berdzikir, padahal tidak demikian,  karena arti talqin adalah mengajarkan  la ilaha illa Allah, dan arti bai’at adalah janji setia, dan arti tawajuh adalah berhadap – hadapan .Mereka yang mengartikan yang sama adalah  karena pada waktu talqin  yang diberikan itu  la ilaha illa Allah   dengan cara  berhadap-hadapan dan setelahnya dia mengucapkan janji / di tugas untuk melakukan dzikir sesuai petunjuk .

Talqin Dari Sudut Pandang Kitab Miftahus Shudur

Miftahus Shudur.

            Didalam kitab Miftahus Shudur halaman 12 diterangkanbahwa Rasulullah  saw melakukan mentalqin sahabat baik sendirian maupun berjama’ah Adapun talqin yang berjama’ah disebutkan bahwqa Syaddad bin Aus berkata : pada suatu waktu kami ada didekat Nabi saw, kemudian beliau bertanya “adakah orang lain?” yakni ahli kitab yang lain, aku menjawab “tidak ada” kemudian beliau menyuruh mengunci pintu  lalu ditalqinkanlah    لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ  kepada kami , kemudian Nabi berdo’a.

اَلحَمْدُ للهِ اللهُمَّ اِنَّكَ بَعَثَنِى بِهَذِهِ الكَلِمَةِ وَوَعَدْتَنِى عَلَيْهَا الْجَنَّةَ وَاِنَّكَ لاَتُخْلِفُالْمِعَاْدَ
Kemudian beliau bersabda: “Hanyalah kamu sekalian diberi khabar gembira bahwa Allah  swt telah memberikan ampunan kepada kalian”.

            Adapun talqin yang seorang diriwayatkan oleh Yusuf al Kaoroni dan oleh yang lainnya dengan sanad yang shohih  bahwa Ali bin Abi Tolib ra  meminta kepada Rasulullah saw sebagai berikut:

        دُلَّنِى عَلَى اَقْرَبِ الطُّرُقِ اِلَى اللهِ وَاَسْهَلِهَا عَلَى عِبَاْدِهِ وَاَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ.  فَقَالَ النَّبِيُّ صلعم عَلَيْكَ         بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ.  اَفْضَلُ مَا قُلْتُ اَنَا والنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِى  لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ  ولّو اَنَّ السَّمَوَاْتِ السَّبْعِ وَالاَْرَضِيْنَ السَّبْعِ فِى كَفَةٍ وَلاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ فِى كَفَةٍ لَرَجَحَتْ بِهِنَّ .                                       
“Tunjukkanlah aku jalan menuju Allah swt yang terdekat,dan paling mudah bagi hamba-hambaNya serta paling afdol menurut Allah .Nabi bersabda kamu harus mudawamah dzikrullah .Ucapan yang paling afdol yang aku ucapkan dan oleh Nabi-Nabi  sebelum aku ialah LA ILAHA ILLA ALLAH, andaikan langit yang tujuh beserta bumi yang tujuh ada disebelah (ditimbang) timbangan  dan  LA ILAHA ILLA ALLAH ada disebalah (ditimbang) timbangan, maka LA ILAHA ILLA ALLAH  masih lebih berat”.

              Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa tidak akan terjadi qiyamat selama diatas bumi ini masih ada yang membaca LA ILAHA ILLA ALLAH .Kemudian Ali bin Abi Talib berkata:” bagaimana aku berdzikir ya Rasulallah ? “ lalu Nabi saw menyuruh agar Ali memejamkan matanya, lau mengucapkan LA ILAHA ILLA ALLAH  tiga kali,  dan Ali menirunya.

Jenis Talqin


Macam macam talqin.

            Adapun cara mentalqinkan, menurut madhab Al Syafi’i dan sejumlah ulama lainnya adalah  antara lain sebagai berikut :

(1). Dilakukan dengan suara yang lemah lembut,
(2). Tidak mendesak dan memaksakannya untuk mengucapkan kalimat syahadat,
(3). Tidak dalam bentuk menyuruh: “katakan laa ilaha illa Allah, tetapi cukup disebut saja kalimat itu sekadar didenagr oleh si sakit agar ia sadar dan dengan kemauannya sendiri ia mengucapkannya,
(4). Jika ia sakit sudah mengucapkan kalimat syahadat itu sekali, jangan diulangi lagi, kecuali jika ia mengucapkan kalimat lain sesudah itu. Yang diusahakan adalah akhir perkataan yang diucapkan didunia adalah kalimat tauhid, sebagaimana tujuan dari talqin;
(5). Orang yang mentalqinkan seyogyanya bukan orang yang akan mewarisi harta peninggalan si sakit dan bukan pula orang yang dengki padanya atau musuhnya;
(6) Jika tidak ada orang yang hadir menjelang ajalnya itu selain dari ahli waris, orang yang dengki atau musuhnya, maka yang mentalqinkan sebaiknya salah seorang dari ahli warisnya, dan yang dipilih adalah ahli waris yang paling sayang kepadanya, demikian juga jika yang hadir hanya calon-calon ahli waris.

            Talqin kepada orang yang sudah meninggal dunia.

            Disamping talqin diberikan kepada orang yang akan meninggal dunia, sebagian ulama ada pula yang berpendapat bahwa talqin yang dilakukan untuk memberikan tuntunan kepada orang yang sudah meninggal dunia ketika mayatnya baru dimasukkan kedalam kubur. Menurut Prof Dr Hamidullah (Guru besar Ilmu-ilmu ka Islaman dan salah seorang anggota pusat kebudayaan Islam di Paris), hal ini disebabkan orang Islam percaya bahwa orang yang meninggal dunia akan didatangi oleh dua malaikat didalam kuburnya. Dua malaikan ini mengajukan beberapa pertanyaan kepada mayat, karena itu setelah mayat dikuburkan ada orang yang membacakan sebuah naskah (talqin) yang berisi tuntunan kepada mayat dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan malaikat itu.

Diantara isi talqin ini yang terpenting adalah pernyataan  (sebuah jawaban atas pertanyaan malaikat) .
Dalam pertanyaan itu    مَن رَبُّكَ ؟  siapa Tuhan mu ? . jawabnya adalah اَللهُ رَبِّي   Allah Tuhanku .Pertanyaan kedua  ما دِيْنُكَ ؟  Apa agamamu ?, maka jawabnya adalah  اَلاِسْلاَمُ دِيْنِي   Islam agamaku, Pertanyaan  ketiga    مَنْ نَبِيُّكَ ؟  Siapa Nabimu ? , maka jawabnya adalah   مُحَمَّد رَسُوْلَُالله نَبِيِّ   Rasulullah adalah Nabiku. Pertanyaan keempat adalah   مَاْ كِتَاْبُكَ ؟  Apa Kitabmu ? .maka jawabnya adalah    اَلْقُرْاَنْ كِتَاْبِي  Al Qur’an Kitabku . Pertanyaan kelima    مَاْ قِبْلَتُكَ ؟  Apa Kiblatmu ? .maka jawabnya adalah    بَيْتُ اللهِ قِبْلَتيِ   Baitullah Kiblatku .Pertanyaan keenam    مَن اِخْوَاْنُكَ ؟  siapa saudara-saudaramu ? maka jawabnya adalah    اَلْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَاْنيِ   semua mukminin adalah saudaraku .
          
Kemudian ditutup dengan ayat Al Qur’an surat Al Fajr ayat 27

يَاْ أَيَّتٌهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّة اِرْجِعِي اِلَى رَبِّكِ رَاْضِيَةً مَرْضِيََةً فَادْخُلِى فِى عِبَاْدِى وَادْخُلِى جَنَّتِى

“Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridoi Nya ,Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hambaKu dan  masuklah  kedalam surgaKu” .

            Dasar hukum yang dilakukan untuk mentalqin ini adalah Hadits Rasulullah saw  yang diriwayatkan Abu Sa’id al Hudri diatas. Didalam Hadits itu disebutkan لَقِّنُواْ مَوْتَاكُمْ   “talqinkanlah mayat-mayatmu” .

Kata (lafadz) maotaa merupakan jamak dari mufrod mayat yang berarti orang  yang sudah meninggal dunia. Ini merupakan makna hakiki (haqiqot) sedangkan maotaakum diartikan sebagai orang yang akan meninggal dunia (sekarat) yang merupakan arti majazy (kiasan). Sedangkan dalam kaidah  disebutkan:
اَلأَصْلُ فِى الْكَلاَمِ اَلحَْقِيقَة    yang asal /pokok dalam perkataan  itu adalah makna hakikat. Oleh karena itu menurut pendapat ini hukum membaca talqin diatas kubur adalah sunah,tetapi pendapat ini ada ditentang oleh ulama lain. Menurut yang terakhir ini hadits riwayat Abu Sa’id al Khudri diatas harus diartikan  dengan makna majazi, yaitu orang yang sudah kelihatan tanda-tanda akan meninggal dunia. Pendapat ini ditunjang oleh hadits riwayat Mu’adz bin Jabal  yang menyebutkan: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ    “orang yang akhir kalamnya adalah akan masuk surga”., ini berarti orang itu masih hidup, bukan mayat, sebab orang mati tidak akan bisa bicara.

Talqin Dan Bai'at

Talqin dan Bai’at.
          
            Talqin .

            Talqin  artinya mengajar; kata talqin berasal dari bahasa Arab yang dalam ilmu shorof  di tashrif  berbunyi    لَقَّنَ يُلَقِّنُ تَلٌقيْناًً   artinya mengajar. Kata talqin merupakan bentuk mashdar  (infinitif/bentuk nominal yang diturunkan  dalam bentuk verba), yang secara etimologis berarti mendikte, mengajar, dan memahamkan secara lisan .

            Didalam istilah fikih berarti bimbingan mengucap  kalimat ikhlash (la ilaha illa Allah)  yang artinya: tiada Tuhan selain Allah. Atau kalimah syahadat yang diberikan oleh seorang mukmin kepada seorang mukmin lain yang telah menampakkan dirinya tanda-tanda kematian atau dalam keadaan sakaratul maut. Tujuan bimbingan ini adalah untuk mengingatkan orang yang akan meninggal dunia itu pada tauhid, sehingga akhir ucapan  yang keluar dari padanya adalah la ilaha illa Allah atau akhir ingatannya kepada Allah semata. Ini semata didasarkan kepada sebuah hadits Nabi  yang diriwayatkan oleh Ahmad dan  Abu Daud yang dinilai shahih oleh Al Hakim dari Mu’adz bin Jabal  bahwa Rasulullah saw bersabda :
مَنْ كَاْنَ آخِرُ كَلاَمِهِ  لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ                                           
“ Barang siapa yang akhir kalamnya la ilaha illa Allah  maka dia masuk surga”.

Dan didasarkan pada hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri
لَقِّنُوْا مَوْتَاْكُمْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ                                                                
“ Ajarkanlah  olehmu sekalian la ilaha illa Allah kepada orang – orang yang mati (orang-orang yang akan mati)”
.
            Dalam riwayat lain dengan pengertian yang sama tidak berbunyi kalamihi  melainkan berbunyi qaulihi, sehingga dapat ditafsirkan dengan  arti lain, karena  sebagian ulama berpendapat  bahwa kalam itu bukan  dalam arti berbunyi tetapi dalam arti  memberi isyatat, artinya dengan isyarat itu dia telah melakukan ma’na yang sama yaitu  kandungan la ilaha illa Allah.

            Talqin kepada orang yang akan meninggal dunia.

            Jumhur (mayoritas) berpendapat  bahwa kalimat talqin yang  yang diajarkan kepada  orang yang akan meninggal dunia itu adalah  la ilaha illa Allah saja,  ini memang sesuai dengan dohirnya hadits diatas, tetapi sebagian ulama  antara lain  Al Qodi Abu Toyyib dalam kitab Al Hawi (yang sempurna /yang menghimpun) Nashor al Maqdisi dalam kitab Al Kaafy (yang memadai), Al Jurjany dalam kitab Al Tahir (yang suci), dan Al Syasi  dalam kitab Al Mu’tamad  (yang standar) berpendapat  bahwa kalimat yang  di talqinkan itu  adalah dua kalimat syahadat,  yaitu :

لاَاِلَهَ اِلاَّ اَللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اَللهِ                                                           
“Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah”.

Alasannya maksud talqin ialah mengingatkan orang yang sedang sakit, agar ingat kepada tauhid dan itu memang berpautan dengan kalimat syahadat. Menurut Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari  seorang tokoh madhab Syafi’I dalam kitabnya  Sabilul Muhtadin (jalan orang-orang yang mendapat hidayah) tidak di sunahkan menambah kalimat la ilaha illa Allah  dan kalimat Muhammad Rasulullah saw karena tidak ada hadits yang menerangkan  hal tersebut. Lagi pula yang ditalqin itu adalah orang Islam sehingga tidak diperlukan tambahan  tersebut.

Dzikir

Dzikir

Artinya: menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga, mengerti, perbuatan baik. Ucapan lisan, gerakan raga, maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, upaya untuk menyingkirkan keadaan lupa dan lalai kepada Allah swt dengan selalu ingat kepadaNya. Keluar dari suasana lupa, masuk ke dalam musyahadah (saling menyaksikan) dengan mata hati, akibat di dorong oleh rasa yang mendalam oleh Allah swt.

Ibnu Atho, seorang sufi yang menulis Al Hikam (kata-kata hikmah) membagi dzikir kepada tiga bagian: yaitu dzikir jali (Dzikir jalas / nyata), dzikir khofi (dzikir yang samar-samar) dan dzikir hakiki (dzikir yang sebenar-benarnya).

Dzikir jali ialah suatu perbuatan mengingat Allah swt dalam bentuk ucapan-ucapan lisan yang mengandung arti pujian, rasa syukur, dan do’a kepada Allah swt. yang lebih menampakkan suara yang jelas untuk menuntun gerak hati. Misalnya dengan membacakan tahlil (mengucapkan kalimat la ilaha illa Allah = tiada Tuhan selain Allah), tasbih ( mengucapkan kalimat Subhana Allah = Maha Suci Allah), takbir (mengucapkan kalimat Allahu akbar = Allah Maha Besar), membaca Al Qur’an atau do’a lainnya. Mula-mula dzikir ini diucapkan lisan, mungkin tanpa dibarengi ingatan hati. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang awam (orang kebanyakan). Tapi hal ini dimaksudkan untuk mendorong agar hatinya hadir menyertai ucapan-ucapan lisan itu.

Dzikir jali ini ada yang sifatnya Muqoyyad (terikat) dengan waktu, tempat, atau amalan tertentu lainnya. Misalnya ucapan-ucapan dalam shalat, ketika melakukan ibadah haji, do’a-do’a yang diucapkan ketika akan makan, akan tidur, bangun tidur, pergi keluar rumah, mulai bekerja, mulai belajar, melihat teman berbaju baru dan sebagainya. Banyak Al Qur’an yang isinya perintah dari Allah swt agar manusia senantiasa berdzikir mengingat Allah swt. Beberapa diantaranya ialah Surat An Nisa ayat 103

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat mu, ingatlah Allah diwaktu berdiri,diwaktu duduk, dan diwaktu berbaring.Kemudian apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa. Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Surat Al Maidah ayat 4

: ...........وَاذْكُرُواْ اْسمَ اللهِ عَلَيْهِ وَاتَّقَُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ سَرِيعُ الحِسَابِ...............
“……Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Allah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya” .

Surat Al Hajj ayat 36
                        :..........فاَذْ كُرُوْا اسْمَ الله ِعَلَيْهَا صَوَّافَ..........    
“Maka sebutlah Nama Allah  sambil berdiri”.

Surat al Jum’ah ayat 10

وَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلَوةُ فَانْتَشِرُواْ فِيْ الاَرْضِ وَابْتَغُواْ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرَواْ اللهَ كَثِيْرًا لَعَلَّكُمْ  تُفْلِحُونْ. .
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah  kamu dimuka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlaah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” .

Dzikir jali yang sifatnya mutlak atau tidak terikat dengan waktu dan tempat misalnya mengucapkan tahlil, tasbih dan takbir dimana saja dan kapan saja.

Dzikir khafi adalah Dzikir yang dilakukan secara khusyu’ oleh ingatan hati baik disertai Dzikir lisan ataupun tidak. Orang yang sudah mampu melakukan Dzikir seperti ini hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah swt. Ia selalu merasakan kehadiran Allah swt kapan dan dimana saja. Didalam dunia sufi terdapat ungkapan bahwa seorang sufi ketika melihat suatu benda apa saja, yang dilihatnya bukan benda itu, tetapi Allah swt. Artinya bukan berarti benda itu Allah swt tetapi pandangan hatinya jauh menembus melampaui pandangan matanya. Ia melihat bukan saja benda itu tetapi juga menyadari akan adanya khalik yang menciptakan benda itu.

Tingkatan yang paling tinggi ialah dzikir hakiki, yaitu dzikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga, lahiriah dan batiniyah, kapan dan dimana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa dari kalangan Allah swt dan mengerjakan apa yang diperintahkanNya. Selain itu tiada yang diingat selain Allah swt. Untuk mencapai tingkatan dzikir hakiki ini perlu dijalani latihan-latihan mulai dari tingkat dzikir jali dan dzikir khafi.

Untuk melakukan dzikir, seseorang tidak harus berdiam diri dalam satu tempat kemudian membacakan dzikir. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Aisah binti Abu Bakar ra dikatakan Rasulullah saw senantiasa mengingat Allah swt (dzikir) dalam setiap saat. Pada hadits lain diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : Kalau aku membaca Subhana Allah, Al hamdu li Allah, La ilaha illa Allah dan Allahu Akbar ( Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar), maka bacaan itu aku lebih gemari dari pada mendapatkan kekayaan sebanyak apa yang berada dibawah sinar matahari (H.R. Muslim).

Dzikir dzikir yang di contohkan Rasulullah saw tersebut merupakan dzikir yang mudah dilakukan, sehingga siapapun dapat melakukannya, baik yang sudah mencapai tingkatan dzikir yang tinggi maupun bagi para pemula.

Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang bertasbih setiap selesai shalat  sebanyak 33 kali, tauhid 33 kali, takbir 33 kali kemudian di genapkan menjadi 100 dengan La ilaha illa Allahu wadahu la syarika lahu lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘ala kuli syai in qodiir (Tidak ada Tuhan selain Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagiNya, yang mempunyai kerajaan yang pantas di puji, Ia Maha Kuasa segala sesuatu), niscaya di ampuni dosa-dosanya walaupun dosa itu sebanyak buih dilaut”.

 Dalam hadits yang juga diriwayatkan Muslim, Sa’ad bin Abi Waqos menceritakan, ketika sedang duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba Nabi saw bersabda: “Adakah diantara kalian yang lemah sehingga tidak mampu berbuat seribu buah kebajikan dalam setiap hari?. Diantara sahabat ada yang langsung menanyakan “ Bagaimana caranya?” Nabi saw menjawab: “Membaca tasbih seratus kali, maka tercatat untuk seribu kebajikan, dan dihapuskan dari padanya seribu kesalahan”.

Berdzikir secara teratur dan dengan disiplin perlu diamalkan, mulai dari dzikir jali untuk kemudian ditingkatkan kepada tingkatan yang lebih tinggi. Dzikir dapat melembutkan hati sehingga seseorang yang melakukannya dapat melihat dan mengikuti kabenaran serta terpelihara dari godaan syetan.

Shalat meskipun merupakan ibadah formal, karena dimaksudkan untuk mengingat Allah swt yang mana itu juga dapat di sebut salah satu bentuk dzikir. Dalam surat Toha ayat 14 disebutkan :
اِنَّنِي اَنَا اللهُ لاَ اِلَه َاِلاَّ اَنَا فاَعْبُدُوْنِى وَاَقِمِ الصَّلَوْةَ لِذِكْرِيْ                                        
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah , tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.

            Shalat yang dilakukan dengan baik dan dengan dzikir yang mendalam akan melindungi orang yang melakukannya dari perbuatan keji dan munkar. Al Qur’an surat Al “Ankabut ayat 45 :

أُتلُ مَا اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتَاْبِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ اِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَىْ عَنِ الفَخْشَا وَالمُنْكَرِ.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu ,yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat.  Sesungguhnya ahalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”.

Dalam istilah lain yang diketahui dari Syekh Shohibul Wafa Tajul Arifin bahwa dzikir itu ada yang bil lisan dan ada yang bil jinan, yaitu yang menurut Ibnu Atho ada tiga, disini ada dua karena dzikir khofi dan dzikir hakiki adalah satu yaitu disebut dengan dzikir bil jinan, sedangkan dzikir jali disebut dengan dzikir bil lisan dan selanjutnya yang bil jinan biasa disebut dengan khofi sedangkan yang bil lisan biasa disebut dengan jahar.     

Sumber Ensi.

Senin, 15 Juli 2013

Penjelasan Khodam


Ilmu khodam

Khodam adalah merupakan manifestasi energi pintar yang terlahir dari sebuah doa, mantra dan tatalaku ritual spiritual tertentu yang mengandung tingkatan konsentrasi yang tinggi kepada sang pencipta alam dibarengi doa doa atau cita – cita agar terkabulnya suatu maksud dan tujuan.

khodam adalah bahasa arab yang memiliki arti yaitu pembantu. ( khodam = pembantu wanita.  khadam = pembantu pria).

Kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh orang yang melakukan olah batin seperti puasa, bertapa, semedi, membaca mantra atau wirid amalan tertentu sebetulnya adalah dari Khodam. Disadari ataupun tidak, setiap olah batin yang dilakukan manusia selalu menimbulkan energi-energi yang memiliki kesadaran/kecerdasan sendiri. Inilah peran dari khodam. Mereka diciptakan Tuhan sebagai perantara yang membawa kekuatan supranatural bagi orang-orang yang dikehendaki.Sebagian orang beranggapan bahwa memiliki khodam (atau ilmu spiritual yang ada khodamnya) adalah sebuah kesyirikan atau dosa besar. Bagi kami, pendapat ini adalah pendapat yang “membabi buta” karena pengertian khodam sangat luas. Sedangkan khodam sendiri terdiri dari berbagai jenis yang tidak mampu disamakan. Berikut ini pembahasan panjang mengenai khodam. Selamat membaca….

Istilah “khodam” berasal dari bahasa arab yang berarti pembantu, penjaga atau pengawal yang selalu mengikuti. Dalam bahasa arab pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun dan satpam juga mampu disebut sebagai khodam. Namun dalam konteks ilmu spiritual, istilah “khodam” digunakan khusus untuk menyebut makhluk gaib yang mengikuti pemilik ilmu spiritual atau yang mendiami suatu benda pusaka. Dalam konsep spiritual jawa, khodam disebut sebagai “prewangan” yang artinya adalah orang yang membantu.

Khodam dalam konsep mistik islam dan jawa diyakini sebagai “jiwa” suatu ilmu. Khodam memberi energi pada pemilik ilmu sehingga mampu melakukan hal-hal diluar kewajaran. Tentu saja ada khodam yang minta imbalan ada pula yang “gratis” karena khodam ini datang karena kehendak Allah, bukan “dipaksakan” oleh manusia. Yang dimaksud “dipaksakan” adalah khodam ini datang karena seseorang melakukan ritual pemanggilan yang ditujukan untuk meminta tolong kepada khodam dari golongan jin.

Mengenai siapakah sebernarnya khodam, para spiritualist berpendapat berbeda-beda. Kelompok pertama mengatakan khodam adalah jenis makhluk tertentu yang khusus diciptakan Tuhan sebagai “pembawa” kekuatan bagi para pemilik ilmu dan benda pusaka. Kelompok ini tidak punya dalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya, jadi pendapat ini boleh kita abaikan.

Kelompok kedua berpendapat bahwa khodam hanyalah sebutan atau julukan bagi Jin, Qorin dan Malaikat yang membantu manusia.  Seperti istilah “setan” yang sebetulnya bukanlah jenis mahluk, melainkan hanya julukan bagi jin atau manusia yang suka berbuat kejahatan. Dalam kitab Al-Quran pun diterangkan bahwa Tuhan hanya menciptakan hambanya yang berakal dalam tiga bentuk saja, yaitu: Malaikat, Manusia dan Jin. Ustadz Firman sendiri lebih meyakini pendapat kedua ini.

Mengapa Khodam membantu manusia?
Karena khodam terdiri dari tiga jenis makhluk yaitu Jin, Qorin dan Malaikat, maka alasan mereka bersedia membantu manusia juga berbeda-beda. OK. agar Anda lebih paham, kami jelaskan satu per satu dibawah ini:
1. Khodam Jin
Pelu Anda ketahui bahwa kehidupan sosial jin sama seperti manusia. Mereka terdiri dari bermacam-macam ras dan kelompok yang sangat kompleks. Setiap jin punya sifat dan kebutuhan yang berbeda-beda seperti pada manusia. Begitu pula dalam dalam membantu manusia, mereka punya alasan yang berbeda-beda. Namun secara garis besar, ada 5 alasan mengapa jin mau membantu manusia.

#Ingin menyesatkan manusia. Kelompok jin ini adalah tentara ilbis yang ditugaskan untuk membantu para tukang sihir dan penganut ilmu hitam. Orang yang ingin memiliki khodam jenis ini harus melakukan perbuatan atau ritual yang melanggar aturan Tuhan. Misalnya untuk medapatkan ilmu sihir mereka harus menyediakan sesaji, makan darah, membunuh, melakukan dosa besar dan sebagainya. Jin jenis ini sangat senang jika manusia yang didampinginya jauh dari agama.

Bukan hanya penganut ilmu hitam saja yang dibantu oleh jin tentara iblis ini. Para penganut thariqoh (orang yang menapaki jalan spiritual menuju Tuhan) dan orang soleh yang kurang waspada pun disesatkan oleh jin golongan ini. Awalnya jin mengaku sebagai guru spiritual yang sudah meninggal atau malaikat yang akan membimbingnya dan membantu segala usahanya. Seketika seorang ahli thariqoh pun memiliki banyak “kesaktian”. Namun perlahan-lahan jin cerdas ini memperdaya ahli thariqoh hingga dia melanggar aturan agama.

#Ingin mendapat keuntungan dari manusia. Khodam Jin jenis ini selalu meminta imbalan dalam bentuk sesaji, persembahan, korban, bahkan ada yang mengadakan perjanjian, jika sudah sampai waktu yang ditentukan pemilik ilmu bersedia menjadi budak/pengikut di alam jin. Orang yang menjadi budak jin, meniggalkan jasadnya, kemudian jiwanya dibawa ke alam jin. Sehingga dia tampak mati bagi orang awam, padahal dia sebetulnya belum mati. Nanti ketika sudah sampai batas usianya, malaikat maut baru menjemputnya untuk dihadapkan kepada Tuhan. Oleh karena itu jangan pernah berniat untuk mendapatkan pesugihan atau “harta gaib” yang datang tiba-tiba dengan bantuan jin.

Keadaan ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Jin ayat 6, yang terjemahnya: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

#Karena mencintai manusia. Kadang kami menemui ada jin yang mengikuti manusia dengan alasan cinta. Cinta yang kami maksud adalah seperti cinta pria kepada wanita. Umumnya jin yang seperti ini selalu berusaha membantu manusia yang dicintainya, sekaligus mengganggu. Bentuk bantuannya mampu berupa kemampuan mengobati, perlindungan dari kejahatan, kemampuan mengetahui rahasia orang dan sebagainya. Sedangkan gangguannya biasanya berupa: merasa diikuti seseorang, sulit mencintai, hubungan cinta selalu gagal, kesurupan/kerasukan dan sering mimpi bersetubuh. Bahkan kadang ada jin yang datang dalam wujud manusia untuk menyetubuhi manusia dalam keadaan sadar.

#Persahabatan. Bagi sebagian orang yang memiliki ilmu spiritual tertentu, bersahabat dengan jin bukanlah hal mustahil. Idealnya hubungan persahabatan adalah saling membantu dan berbagi. Namun kenyataannya hubungan persahabatan dengan jin mampu menguntungkan atau merugikan Anda, bahkan kadang juga menyesatkan Anda. hal ini sama jika kita bersahabat dengan sesama manusia. Jika sahabat kita adalah orang baik, maka kita pun terbawa menjadi baik. Tapi jika kita berteman dengan penjahat, maka kita pun mampu dirugikan atau malah bergabung menjadi penjahat. Semua itu tergantung sifat dan kepribadian Anda. Hubungan persahabatan inilah yang menjadi dasar

Ijazah Hizib Para Wali


Hizib adalah amalan doa/wirid yang dibuat oleh para Wali atau Ulama. Hizib sangat banyak ragamnya dan biasanya dinamai sesuai nama penyusun Hizib tersebut. Misalnya Hizib Nawawi adalah amalan hizib yang disusun oleh Syekh Muhyiddin Zakariyya Yahya An- Nawawi.

Orang-orang yang mampu menyusun hizib tentu saja bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk memahami rahasia-rahasia huruf dan ayat Allah. Sehingga, dengan karunia Allah tersebut, mereka bisa menyusun hizib yang punya berbagai maca
 manfaat.
 

Blogger news

Blogroll

About